Friday, May 15, 2009

Homeostasis: The Greatest Power in Human Behaviour (1)

Sepasang suami istri duduk di ruangan saya dengan raut wajah yang tegang. Mereka telah menikah selama sembilan tahun dan hendak memutuskan untuk melakukan perceraian. Namun masih ada setetes embun di hati mereka yang membuat mereka menemui saya. “Jika tak mengingat dua anak yang menjadi tanggung jawab saya maka saya akan langsung putuskan untuk meninggalkan suami saya” demikian istrinya berkata pada saya.

“Sebenarnya adakah hal positif yang ada pada diri suami Anda?” tanya saya pada sang istri.

”Hmmm ..... ya sebenarnya dia itu sabar dan baik. Dia mengurus banyak hal tanpa pernah mengeluh. Satu-satunya hal yang sering dia keluhkan adalah kecerewetan saya. Namun dia seringkali menyinggung perasaan saya. Saya adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Saya sih tidak masalah dengan hal itu. Marilah kita sama-sama berbagi tugas sembari menunggu usahanya maju. Namun tindakannya yang menyinggung perasaan saya seringkali membuat saya muak dan benar-benar tak tahan. Dia tak pernah menghargai apa yang telah saya lakukan. Membanting tulang memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Bagaimanapun saya juga seorang wanita yang ingin merawat diri saya sendiri, ingin jalan-jalan ke mall dengan santai walaupun tak berbelanja, ataupun ingin bermanja-manja dengannya. Namun setelah semua pekerjaan yang telah saya lakukan saya tak pernah mendapatkan hal yang saya dambakan itu. Say benci tdak bisa menjadi diri saya sendiri. Setiap kali dia meminta maaf maka saya akan memaafkannya. Namun kata-kata maaf itu seakan menjadi kata kunci untuk kesalahannya. Dia terus mengulanginya lagi. Sampai kapan saya tak tahu. Saya jenuh menunggu perubahan yang ia janjikan. Perubahan dirinya maupun perubahan kondisi finansial kami. Saya bosan dengan janji-janjinya! Lebih baik kami berpisah saja!”, demikian semua kalimat itu meluncur deras tanpa bisa dibendung.

”Oke saya mengerti perasaan Anda. Bagaimana dengan anak-anak?” tanya saya.

”Itulah satu hal yang memberatkan saya. Saya tidak ingin anak saya mengalami kejadian yang tak menyenangkan. Saya tak ingin anak-anak saya memiliki orangtua yang bercerai. Tapi saya sudah tak kuat lagi!”, katanya sambil menguraikan air mata.

Beberapa saat setelah ia mulai bisa menenangkan diri maka saya berbicara dengan suaminya.

”Apa yang bisa saya bantu?” tanya saya pada suaminya.

”Ya itulah saya ini bingung. Saya selama ini tidak melakukan hal-hal yang aneh. Saya tidak main perempuan, saya tidak berjudi, saya tidak pernah keluar dengan teman-teman saya, bahkan merokok saja pun saya tidak suka. Sehari-hari saya hanya mengurus anak-anak. Dari mulai memandikan, memberi makan, mengantarnya sekolah, menjemputnya, mengajaknya main, dan menemani belajar. Namun setelah itu semua saya lakukan yang saya dapatkan adalah sikap uring-uringan dari istri tanpa sebab yang jelas. Saya pun tak ingin menjalani kondisi finansial seperti ini. Namun apa mau dikata semua usaha yang saya lakukan belum membuahkan hasil seperti yang kami harapkan”, demikian kata suaminya dengan wajah memelas.

”Menurut Bapak apakah tuduhan istri Anda yang mengatakan bahwa ia sering tersinggung dengan sikap Bapak itu benar?”, tanya saya berusaha mengklarifikasi data yang ada.

”Sejujurnya saya terkadang tak pernah merasa menyinggung perasaannya. Tapi jika meminta maaf bisa meredakan ha itu maka saya akan lakukan. Saya harus bagaimana lagi?”,sambungnya dengan nada masih memelas.

”Tapi sikapmu itu memang sering menyinggung perasaanku!”, tiba-tiba istrinya memotong dengan sikap sinis.

”Sebentar Ibu sabar dulu”, demikian saya berusaha menengahi mereka.

”Saya sudah sabar bertahun-tahun tanpa hasil. Sikapnya yang merasa tak bersalah inilah yang sering memicu saya untuk marah! Kondisi keuangan kami sudah memprihatinkan namun ia tak pernah melakukan usaha lebih keras demi kemajuan. Setelah mengantar anak sekolah ia pulang ke rumah dan tidur sampai siang!”, kata istrinya benar-benar seperti air bah yang tak bisa dibendung.

”Lalu saya harus melakukan apa. Semuanya kan tergantung pelanggan saya. Saya tak bisa memaksa mereka untuk melakukan pesanan jika mereka memang tak membutuhkannya, kan?”, kata suaminya berusaha membela diri.

”Baiklah mulai sekarang Anda hanya boleh bicara jika saya tanya, oke?”, kata saya mengambil kendali situasi yang tak menentu tersebut.

Setelah melakukan wawancara dengan keduanya saya pun mulai mendapatkan gambaran tentang apa yang bisa saya lakukan untuk membantu keduanya. Singkat cerita saya membantu mereka sebanyak tiga sesi terapi setelah menemukan akar masalahnya.

Permasalahan mereka sebenarnya adalah muatan emosi masa lalu yang terus dibawa-bawa. Muatan emosi negatif itu terpicu ketika seseorang melakukan hal yang mirip dengan pertama kali muatan emosi itu muncul dari sebuah pemaknaan.

Sang istri mudah sekali merasa tersinggung jika idenya ditolak. Bahkan untuk ide keluar makan malam yang ditolak pun ia bisa merasa tersinggung berat. Ia merasa harga dirinya direndahkan. Ia tahu bahwa marah tak menyelesaikan masalah. Namun setiap kali ia berusaha menahan rasa marahnya maka ia semakin ingin meledak. Dan akhirnya ........ meledak juga!

Hal ini bermula dari kejadian ketika sang istri, yang waktu itu masih seorang anak 5 tahun, disalahkan dan dimarahi oleh kakaknya. Rasa jengkel dan marah itu masih mengganjal dan dibawa terus sampai dewasa. Akibatnya ia mudah sekali merasa tersinggung. Jika dengan orang lain maka ia bisa menahan emosi negatif tersebut. Namun ketika sampai di rumah dan suami atau anak-anak . melakukan satu hal kecil saja yang bisa memicu memori tersebut maka tumpukan emosi negatif yang sudah menggunung tersebut akan langsung meledak tanpa ampun.

Ia tahu bahwa harusnya ia tak boleh seperti itu. Hal itu bisa merugikan perkembangan anak-anaknya. Namun keinginannya untuk berubah tak pernah kunjung kesamapaian. Baginya perubahan itu terasa sangat sulit dan memakan waktu cukup lama.

Masalah yang dialami pasangan di atas adalah salah satu dari sekian banyak masalah yang bisa kita jumpai sehari-hari. Muatan emosi negatif yang tak terselesaikan di masa kecil menjadi beban yang terus dibawa sampai di kehidupan dewasa.

Efek dari muatan emosi negatif tersebut bisa dirasakan di semua aspek kehidupan. Pada aspek relasi dengan pasangan, relasi dengan anak, kondisi finansial dan bahkan kesehatan.

Di samping itu ada sebuah daya lain yang tak kalah kuatnya yang menyebabkan perubahan perilaku susah dilakukan. Daya ini adalah ”homeostasis”. Homeostasis adalah suatu daya yang berusaha mengembalikan kita pada kondisi semula. Jika kita bicara perilaku manusia maka daya ini adalah musuh nomor satu dari perubahan. Setiap orang yang ingin berubah dan setiap terapis yang membantu kliennya untuk berubah harus bisa menghadapi homeostasis.

Ini seperti anda menarik sebuah karet gelang. Ada sebuah daya yang kasat mata yang menahan gerakan anda untuk meregangkan karet gelang tersebut. Itulah perubahan. Setiap kali kita ingin berubah maka kita merasa tak nyaman. Kita ingin kembali ke kondisi semula.

Pernahkah anda menemui seseorang yang mengeluhkan rekan kantornya yang brengsek, sistem manajemen kantor yang tidak bagus dan atasan yang semena-mena? Namun ia tetap bekerja di sana sampai bertahun-tahun kemudian. Ia tak berani keluar dari zona tersebut. Baginya walaupun merasa tak nyaman namun satu hal yang sudah pasti : ketidaknyamanan tersebut sudah bisa diukurnya. Daripada menghadapi resiko ketidaknyamanan yang lebih parah di tempat baru maka lebih baik di tempat lama.

Itulah homeostasis. Daya ini sangat luar biasa. Bekerja di pikiran bawah sadar. Setiap keinginan sadar kita untuk berubah mendapat tantangan yang besar. Bagaimanapun juga ada satu alasan positif yang didapat jika kita tidak berubah. Karena alasan inilah maka homeostasis ada. Hanya saja ini tidak sinkron dengan keinginan sadar kita.

Tantangan setiap terapis adalah membantu kliennya menyinkronkan program pikiran bawah sadar dan pikiran sadar. Jika ini bisa dilakukan maka perubahan adalah hal yang sangat mudah.

Satu hal yang perlu diingat adalah homeostasis ada di setiap level pencapaian kita. Ketika kita keluar dari sebuah habit lama dan masuk ke habit baru maka segera setelah itu kita masuk dalam sebuah zona kenyamanan yang baru. Zona ini menjadi tantangan lagi bagi perbaikan lebih lanjut.

Kita akan membahas bagaimana mengatasi homeostasis ini pada artikel berikutnya.


Written by Ariesandi Setyono

No comments:

Post a Comment