Friday, May 15, 2009

A Little Secret about Self-Releasing Technique: The Greatest Power in Human Behaviour (3)

Apakah anda pernah mengalami punya semangat yang menggebu-gebu ketika memulai sesuatu dan kemudian macet di tengah jalan kehabisan napas? Itulah tanda sebuah mental blok sedang menghambat kita untuk melakukan atau menjadi atau memiliki apa yang kita inginkan. Hal ini bisa dikarenakan mekanisme homeostasis dan psikosklerosis yang sudah dijelaskan di artikel sebelumnya.


Jika berbicara mengenai hambatan maka akan ada suatu emosi tertentu yang biasanya mengganjal dalam diri kita. Emosi ini berasal dari pengalaman masa lalu yang mengkristal dan akhirnya tak terselesaikan. Emosi ini terpendam dan kita tumpuki terus menerus sehingga akhirnya kita pun lupa akan apa yang telah kita pendam.



Biasanya ini ditandai dengan kata-kata hiburan semacam :

  • "Alaaaa ……. Begitu saja sedih! Lupakan itu masalah kecil. Ayo kita bersenang-senang aja!"
  • "Ah cowok kok nangis! Sudah diam nanti kan hilang sendiri sedihnya!"
  • "Astaga begitu saja sakit hati! Sudahlah tak usah dipikirkan lagi ya!"
  • "Masak cantik-cantik menangis? Nanti cantiknya hilang lho! Ayo dihapus air matanya!"
  • "Hah perkataan orang seperti itu dimasukkan hati!"
  • "Ayolah kita coba lagi. Nanti waktu akan menyelesaikan masalah tersebut. Lupakan saja!"

Kalimat-kalimat di atas tak menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. Kalimat di atas hanyalah pertolongan pertama yang harusnya segera ditindaklanjuti dengan pembersihan emosi sampai ke akar masalahnya.

Selain dipendam dan ditekan maka kita juga sering menjumpai seseorang melampiaskan emosinya. Setelah proses pelampiasan tersebut biasanya ia menjadi lega. Namun pertanyaan berikutnya adalah apakah proses pelampiasannya membawa korban? Seringkali proses pelampiasan tersebut menyeret korban baru. Bisa jadi sang korban adalah staf kita, teman kita, orang yang baru kita kenal atau bahkan anak dan istri kita sendiri. Kita senang bisa lepas dari ganjalan emosi negatif tetapi orang lain sekarang jadi terluka hatinya.

Adakah cara lain selain memendam dan melampiaskan emosi negatif? Tentu saja ada. Dan inilah yang akan kita bahas. Cara ini sebenarnya telah ada dalam diri kita sejak anak-anak. Perhatikan seorang anak kecil yang sedang bermain dengan temannya. Ketika mereka bertengkar hebat berapa lamakah waktu yang diperlukan untuk berbaikan kembali? Satu hari? Satu minggu? Satu bulan? Atau satu tahun? Anda benar! Tak lebih dari lima menit bukan?

Kemampuan anak kecil untuk melepas emosi negatif begitu cepat. Namun seiring dengan pertambahan usia kemampuan untuk melepas ini menjadi makin hilang dan sebagai gantinya kita memendam atau menekan dan melampiaskan emosi negatif kita. Apakah jadinya emosi negatif yang tak terselesaikan ini? Mental blok!

Bagaimana jika sekarang kita mengetahui bahwa ada banyak masalah yang mengganjal dalam diri kita? Bagaimana cara melepaskan emosi negatif tersebut? Keputusan untuk melepaskan emosi negatif sebenarnya ada pada diri kita. Kita tidak memerlukan emosi negatif tersebut untuk mencapai / memiliki / menjadi apa yang kita inginkan.

Sebelum anda membaca lebih jauh ketahuilah lebih dahulu empat hal yang mendasari sebuah keinginan. Empat hal inilah yang membuat kita sulit melepaskan emosi negatif kita. Apakah keempat hal tersebut? Yang pertama adalah keinginan untuk mengontrol / dikontrol. Ketika kita ingin mengontrol maka kita merasa tidak memiliki kontrol. Ini akan membuat kita terlihat memaksakan kehendak. Biasanya ditandai dengan pernyataan ,"harusnya kan seperti begini atau begitu?".

Ketika saya menjelaskan hal ini dalam sebuah pelatihan internal, yang sudah dibuat dalam format DVD dan bisa anda beli di web pribadi saya, sebagian besar peserta langsung mengiyakan dan mengerti mengapa selama ini mereka susah mencapai apa yang mereka inginkan. Rupanya keinginan untuk mengontrol ini membuat mereka tidak bisa melepaskan potensi alaminya.

"Saya harus mencapai impian saya!" adalah sebuah kalimat yang sering digunakan untuk memotivasi diri. Ketika sebuah target tak tercapai maka mereka biasanya mengatakan "Kok bisa ya! Harusnya kan …… ( begini atau begitu) ?"

Hal kedua yang melatarbelakangi emosi negatif yang muncul di balik sebuah keinginan adalah persetujuan / pengakuan / penerimaan / mencintai atau disetujui / diterima / diakui / dicintai. Saat kita ingin persetujuan / penerimaan maka kita merasa tidak memiliki penerimaan / persetujuan. Ketika kita melekat pada hal ini maka emosi negatif akan muncul. Entah itu perasaan dikianati yang berkembang jadi benci ataupun marah.

Atau bisa juga perasaan dianggap remeh yang berkembang menjadi merendahkan orang lain dan membuat kita merasa benar / psikosklerosis. Ujung-ujungnya adalah pembuktian diri yang didasari dengan emosi negatif, "Akan kubuktikan bahwa aku juga bisa melakukan yang lebih baik!", atau "Memangnya hanya dia yang bisa?", atau "Memangnya dia itu siapa? Baru tahu begitu saja sudah berlagak?" Dengan melepas keinginan untuk disetujui / diterima / diakui maka kita merasa penuh cinta dan dicintai sehingga tak perlu mencari ke luar diri kita.

Hal ketiga adalah kebutuhan mempertahankan rasa aman / homeostasis. Kemelekatan pada hal ini membuat kita merasa tak pasti yang bisa berkembang menjadi rasa takut yang bisa jadi menuntun kita untuk memaksakan kehendak dan menyakiti orang lain ataupun balas dendam. Dan jika sudah pada tahap akhir bisa berujung pada rasa frustrasi dan berkembang menjadi keinginan untuk mati. Bisa juga berkembang menjadi perasaan bersalah. "Seandainya dulu saya melakukan hal ini atau itu … pasti tidak begini jadinya". Ketika kita melepas perasaan ingin mempertahan rasa aman maka kita akan lebih nyaman dan aman berada di manapun tanpa menggerogoti keberadaan individu lain.

Hal keempat adalah keinginan untuk memisahkan diri / menjadi individu yang dianggap spesial. Ini mudah terjadi pada orang-orang yang mencari jalan spiritual atau yang termotivasi oleh keinginan semacam ini. Kemelekatan pada hal ini akan membuat kita tergelincir pada kultus individu dan kesombongan. Kita cenederung ingin membuktikan diri bahwa kita lebih baik, berbeda dari yang lain dan spesial. Kita seakan menyuarakan pada dunia, "Inilah saya. Biarkan saya sendiri melakukannya!" Ketika kita melepas keinginan untuk memisahkan diri / menjadi individu yang dianggap spesial maka kita akan merasa menjadi satu kesatuan dan terkoneksi dengan alam semesta tanpa kehilangan keunikan kita.

Ingatlah kemelekatan terhadap keempat hal itulah yang membuat emosi negatif timbul. Dengan melepaskan keinginan tersebut maka kita akan merasa bebas seperti anak kecil yang bebas mengekspresikan dirinya. Mereka bisa tertawa dan menangis kapanpun mereka mau dan setelah itu melupakannya. Mereka menikmati hidup saat ini tanpa didasari perasaan negatif tertentu seperti keempat hal di atas. Inilah kunci menuju kebebasan emosional.

Sekarang kita siap untuk melakukan Self-Releasing Technique dengan pemahaman terhadap uraian di atas. Ikutilah beberapa mekanisme sederhana berikut untuk melakukan self-releasing technique. Kunci untuk mencapai hasil optimal melakukan teknik ini adalah dengan berulang kali melakukannya kecuali anda bisa berada dalam kondisi relaksasi yang dalam sekali dan sudah mahir. Saya pribadi menggunakan teknik ini sudah hampir setahun baik untuk mengevaluasi diri sendiri maupun untuk menolong klien. Ketika dikombinasikan dengan hipnosis hasilnya menjadi jauh lebih efektif.

Inilah teknik dasar yang paling sederhana untuk melakukan Self-Releasing Technique :

  1. Mencari tempat tenang dan nyaman serta bebas gangguan
  2. Anda boleh melatarbelakanginya dengan musik lembut ataupun tidak sama sekali
  3. Duduklah dengan tegak namun tidak tegang usahakan serileks dan senyaman anda
  4. Setelah itu cobalah pikirkan sebuah kejadian / seseorang yang anda rasa akan menimbulkan emosi negatif jika terpicu oleh sesuatu. Muatan emosi negatif inilah yang akan anda lepaskan
  5. Tingkatkan intensitas emosi negatif ini dan buatlah perkiraan skala antara 0 – 10 dimana angka 10 menandakan sangat negatif
  6. Setelah itu perhatikan di balik emosi negatif ini sebenarnya ada keinginan apa yang melatarbelakanginya
  7. Adakah keinginan untuk mengontrol/dikontrol, atau keinginan untuk disetujui/diterima atau keinginan untuk mendapatkan rasa aman atau keinginan untuk memisahkan diri/dianggap sebagai individu spesial?
  8. Setelah tanyakan pada diri anda beberapa pertanyaan kunci berikut sampai anda merasa intensitasnya berkurang
    a. Apakah saya mau mengakui keberadaan perasaan ini?
    b. Maukah saya melepaskan emosi ini?
    c. Dapatkah saya melepaskannya?
    d. Bisakah saya melepaskannya?
    e. Kapan?
  9. Ulangi pertanyaan 8c, 8d dan 8e berulang kali setelah itu stop, tarik napas panjang, hembuskan dan rasakan intensitas emosi jika anda memikirkan kembali hal tersebut
  10. Ulangi kembali langkah no 8 jika merasa perlu
  11. Ulangi kembali beberapa hari ke depan dan setelah itu barulah pindah ke topik/permasalahan berikutnya
  12. Semakin sering anda melakukan pelepasan emosi negatif ini maka semakin bebaslah diri anda tanpa perlu khawatir kehilangan identitas dan keunikan diri.

Hal di atas adalah teknik yang sangat mendasar sekali untuk suatu sesi self-releasing. Jika anda rasa ada beberapa hal yang belum bisa tuntas dengan teknik tersebut maka artinya bukan tekniknya yang tidak jalan namun caranya yang perlu dimodifikasi dengan tingkat kedalaman tertentu. Untuk maksud tersebut diperlukan halaman lebih banyak guna menuliskan keterangan detailnya.

Sebagai sebuah teknik dasar saya sering juga menggunakannya untuk membantu klien menemukan akar permasalahannya pada pertemuan pertama. Dan banyak diantara mereka mendapatkan hasil yang signifikan dengan pertemuan pertama saja. Saya harap andapun demikian. Kuncinya adalah berlatih.


Written by Ariesandi Setyono

No comments:

Post a Comment